Bagian II Sejarah Editing Film : Jean-Luc Godard (Spatial, Temporal & Graphical Discontinuity)

Sebenarnya Godard bukanlah orang pertama yang menggunakan metode editing jump cut, yaitu sebuah menyambungan dua shot atau lebih, di mana angle dan type of shot sama. Pada masa Brighton School, James Williamson dalam An Interesting Story telah menggunakannya namun untuk tipuan kamera saja, yaitu ketika adegan tokoh terlindas streamroller, sesaat sebelum terlindas dia menggantinya dengan boneka dan mengganti orang lagi setelah dipompa oleh orang yang lewat. Pada waktu yang hampir bersamaan, Melies juga telah menggunakannya namun mirip dengan dengan Williamson, dia hanya memakainya sebagai pengganti tipuan sulapnya.

Bedanya denga kedua pendahulunya, Godard justru menggunakannya dengan cerdas walaupun apa yang dilakukannya merupakan respon dari film-film yang disebut sebagai cinema du papa (cinema orang tua). Godard merasa lelah dengan kaidah-kaidah yang ketat yang diterpkan di dalam film-film Perancis pada masa itu, sehingga dia mencoba untuk menabrak ketentuan tersebut. Salah satunya adalah match on action atau match on cut yang seolah-olah sudah menjadi alamiah. Caranya tentu saja dengan men-jump cut penyambungan di seluruh filmnya, Breathless (À Bout De Souffle). Tentu saja secara ruang, waktu dan grafis, film tersebut terasa melompat-lompat, namun suara yang dihadirkan oleh Godard tidak terinterupsi sama sekali.

Dalam filmnya yang lain Crazy Pete (Pierrot Le Fou), Godard justru menyambung shot sebuah kejadian linear dengan menyusunnya tidak sesuai urutan sehingga sepintas penonton seperti dipermainkan dalam ruang dan waktu.

Bagian II Sejarah Editing Film : Yasujiro Ozu (Graphical Match & Flowing in Editing)

Peletakkan kamera film-film Yasujiro Ozu memang tidak seperti yang dikenal oleh banyak pembuat film di dunia. Dia bisa meletakkan kamera dimanapun seolah tanpa gangguan. Namun setidaknya ada dua hal yang sangat konsisten dipertahankannya dakan setiap filmnya, yaitu :

1. Graphical Continuity (Kesinambungan Grafis)

Keuntungan Ozu dalam merangkai aspek grafis (presentasi visual pada sebuah permukaan) adalah bentuk elemen-elemen visual di Jepang, baik elemen rumah, gapura, patung-patung dan lainnya yang cenderung memiliki keterpaduan yang kuat. Lihat saja ornamen berbentuk kotak pada dinding dan pintu rumah.

Tentu saja keuntungan ini tidak akan menjadi optimal bila Ozu tidak dengan sadar memanfaatkannya. Secara simetris, seringkali dihitungnya grafis tiap shot yang akan disambung, sehingga bila shot pertama elemen visualnya menutupi kiri-kanan bagian frame, maka dia akan menyambungnya dengan komposisi yang nyaris sama.
Namun Ozu juga dapat melakukan penyambungan gerak dari orang yang berbeda namun dia mengatur dari posisi duduk, foreground serta background-nya serupa, sehingga ketika disambung penonton akan merasakan aliran (flowing) yang halus.

2. Match On Action

Ketika membicarakan tentang flowing (aliran) dalam editing, dengan dibantu oleh unsur-unsur grafis di dalamnya, Ozu melakukan penyambungan match on action / match on cut dengan memiliki tingkat presisi yang tinggi, sehingga penonton tidak lagi peduli dengan discontinuity spatial (ketidaksinambungan ruang) saat dia melanggar Kaidah 180o atau garis imajiner. Hal ini juga yang membuat film-filmnya terasa mengalir tanpa ada gangguan apa-apa.

Bagian II Sejarah Editing Film : Luis Bunnuel (Visual Discontinuity)

Ekspresionisme, surrealisme dan psikoanalisa merupakan teori yang berkembang dan mempengaruhi para seniman di era 1920-an. Salvador Dali dan Luis Bunuel awalnya menggunakan film sebagai pengganti kanvasnya, namun mereka melihat keberbedaan media ini dan mencoba membuat unsur penceritaannya. Seperti Dziga Vertov, mereka juga melawan pola penceritaan klasik ala Griffith dalam filmnya. Juga bereaksi seperti Eisenstein, Bunuel menggunakan dialektika serta kontrapung pada penyambungan shot-shotnya. Selain itu dia Bunuel mencoba menghancurkan pemaknaan dalam film dan sering menyelingi filmnya dengan adegan-adegan yang mengejutkan. Dalam film Un Chien Andalou, saat adegan di malam hari, tokoh diteras sedang melihat awan yang melintasi bulan purnama, disambung dengan mata seorang perempuan yang disayat pisau cukur. Juga ketika tokoh lelaki ingin mendekati tokoh perempuan, tiba-tiba saja di pundaknya terikat kuat tali yang terikat kuat pada piano yang di atasnya terdapat dua keledai mati.

Yang terpenting dalam filmnya adalah menyuguhkan puncak-puncak ketidaksingkronan visual. Tentu saja pola editing klasik seperti Griffith telah dikubunya dalam-dalam sebab yang jelas digunakannya adalah aspek visual yang tidak memiliki kesatuan (disassociation visual). Konsekuensinya, metode ini memperluas pilihan pembuat film dengan cara menciptakan pengertiannya sendiri, mengganggu, merampas makna, juga mengubur pengetahuan dari penontonnya.

Bunuel juga menawarkan alternatif pengembangan penceritaan, yaitu :

  • Penggantian karakter dengan karakter lain
  • Menawarkan plot non-linear
  • Mengaburkan tujuan (goal) dari tokohnya

Hal ini membuat penontonnya frustasi, namun mereka setidak mereka bisa mendapatkan pengalaman yang berbeda dari sebelumnya.

Bagian II Sejarah Editing Film : Montage Rusia – Alexander Dovzhenko (Editing With Visual Association)


Pada konsep intellectual montage-nya, Eisenstein dengan sangat bebas menyambung dua gambar untuk menyampaikan ide tentang seseorang, kelas sosial bahkan peristiwa sejarah. Kebebasan ini mirip dengan apa yang dilakukan Vertov yang senang memainkan ‘bentrokan’ antara realita dengan ilusi di dalam filmnya. Sedangkan Alexander Dovzhenko, pembuat film dari Ukraina ini tidak bertujuan membuat film dengan penceritaan yang ‘lurus’ ataupun sebuah gagasan dokumenter seperti Vertov.

Film-filmnya lebih menyerupai puisi visual dibanding hanya rangkaian gambar yang disambung dan diberi makna ataupun dipaksakan bermakna. Dalam film Zemlya (Earth), walaupun latar ceritanya adalah perjuangan kelas antara petani kelas menengah dengan petani miskin, namun sesungguhnya ide film ini adalah tentang kesinambungan antara hidup dan mati. Ceritanya sendiri tidak terlalu jelas karena banyaknya penggunaan visualisasi yang maknanya tidak harfiah, sehingga menyebabkan interpretasi dari penontonnya seringkali berbeda. Film ini sendiri diawali dengan rangkaian foto (gambar diam), yaitu :

  • Suasana pedusunan yang tenang dengan komposisi visual yang bagus.
  • Seorang gadis dan bunga liar.
  • Seorang petani dan sapi jantannya.
  • Lelaki di sebuah kebun apel.
  • Seorang gadis yang sedang menyabit gandum
  • Seorang pemuda yang mengisi hidupnya dengan kegembiraan.

Urutan dan penyambungan gambar-gambar ini tidak jelas arah kesinambungannya, namun asosiasi visual ini justru memberi gambaran sebuah pola-pola kehidupan pedesaan yang tenang dan sentausa. Benar saja, ceritanya justru dimulai dari sebuah adegan lelaki tua yang sedang menghadapi kematian namun dikelilingi banyak sekali buah apel, di mana adegan ini sangatlah tidak alami. Banyak pengamat film mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Dovzhenko ini adalah sebuah kontrapung (istilah ini diambil dari teori musik yang berarti nada-nada yang disusun secara berlawanan). Dovzhenko menyusun serta membenturkan elemen-lemen visual film dan editingnya yang menggambarkan tentang hidup dan mati.

Penyambungannya sendiri tidak secara langsung diarahkan pada naratifnya sebab apa yang dilakukannya adalah untuk memperlihatkan bahwa hidup akan terus berjalan walaupun kematian terus terjadi. Kehadiran banyak buah apel dalam shot-shotnya, memuluskan rasa kehilangan dalam filmnya dan mengintrodusir ide-ide puitik tentang kematian. Aspek puitiknya ini mencoba memparalelkan antara hidup yang terus berlangsung dengan kebencian akan kematian. Orang tua yang sedang menghadapi kematian tersebut ikhlas menyatu lagi dengan bumi. Lelaki tua itu sadar bahwa dirinya adalah bagian dari bumi dan bumi adalah bagian dari dirinya.

Sekali lagi, editing dalam dua filmnya lebih menekankan pada asosiasi visual dibanding classical continuity (kesinambungan klasik). Seperti halnya kata dalam puisi yang tidak membentuk logika kalimat, demikian pula pola-pola visual dalam filmnya tidak difokuskan untuk membentuk logika penceritaan (naratif). Awalnya, ketiadaan continuity sangatlah membingungkan penonton, namun dengan pola yang dibangunnya secara konsisten perlahan-lahan muncul dan mulai menggantikan pola-pola editing klasik dalam filmnya. Tentu saja metode ini hanya efektif dengan caranya, sehingga tidak mungkin memaksakan penonton untuk memahaminya. Namun setidaknya apa yang ditawarkan oleh Dovzhenko merupakan sebuah alternatif dari editing dalam membentuk aspek penceritaan.

Bagian II Sejarah Editing Film : Montage Rusia – Dziga Vertov (Experiment of Reality)


Sebenarnya sebelum munculnya Eisenstein dan Pudovkin di kancah pembuatan film, Dziga Vertov telah memulainya terutama karena awalnya adalah seorang jurnalis. Setelah perang saudara di Russia dan Lenin mengumumkan slogannya bahwa sinema adalah seni yang terpenting, maka Vertov mengambil bagian dengan turut andil mendirikan lembaga yang diberi nama KINOKS (Keranjingan Sinema).

Vertov sendiri selama perang saudara telah banyak mengabadikan banyak peristiwa melalui kamera filmnya dan hasilnya adalah dokumentasi yang luar biasa banyaknya tentang perang saudara tersebut. Apa yang dilakukan Vertov ini sekarang dikenal dengan istilah newsreel atau masyarakat awam lebih mengenalnya dengan film dokumentasi. Bahkan pada tahun 1922 dia sempat membuat kumpulan dokumentasi tentang perang saudara di Russia.

Bersama Kinoks-nya, Vertov membuat sebuah jurnal film yang diberi nama Kino Pravda (Mata Kebenaran). Istilah ini juga akhirnya menjadi slogannya yang sangat terkenal. Sebenarnya apa yang menjadi tujuannya adalah bahwa film seharusnya bisa menjadi sebuah sarana untuk mengungkapkan kebenaran tanpa harus direkayasa. Inilah yang dianggapnya sebagai realisme dan oleh karena itu, seharusnya film menolak kehadiran skenario, aktor, dekor, pencahayaan buatan, kostum, make-up dan studio. Vertov merasa bahwa seharusnya manusia itu ditempatkan dalam lingkungan sosial dan kehidupannya, maka akan terkuaklah kebenaran dengan sempurna. Sehingga seluruh aspek penyutradaraan sudah seharusnya tunduk pada kamera, sebab mata kamera dianggapnya lebih obyektif dibandingkan mata manusia dan itu menjadi satu-satunya jaminan ‘kebenaran’ dan konsep yang ditawarkannya ini disebut dengan Kino-Glaz (Camera-Eye / Mata Kamera).

Namun perlu diketahui bahwa Vertov tidak menolak montage, sebab dia setuju bahwa di situlah titik seni dari film itu. Dari bahan-bahan dokumentasi tersebut kepribadian si pembuat justru akan muncul dalam film saat dia melakukan pemilihan (seleksi), mengatur penempatannya serta menciptakan irama yang baik dan tentu saja semua itu tunduk pada hukum-hukum ilmiah dan matematik. Selain itu Vertov dengan jujur dan penuh kesadaran memanipulasi gambar-gambar dengan menggunakan superimpose dan mencampurkannya dengan gambar realita, sehingga terjadi dualitas proses pembuatan film pada “The Man With A Movie Camera”.

Juga harus diakuinya bahwa perpindahan kamera tidak semudah perpindahan mata manusia, artinya konsep kino-glaz sangat dibatasi oleh kemampuan teknis kamera, sehingga orang-orang yang sadar akan kehadiran kamera justru akan sulit tertangkap aspek sentimen, emosi atau dengan kata lain, realitasnya. Pada beberapa kesempatan Vertov banyak menggunakan lensa-lensa panjang (telephoto) ataupun membuat sebuah kereta yang tertutup yang mampu memuat kamera di dalamnya untuk menghindari subyeknya sadar akan kehadiran kamera.

Bagian II Sejarah Editing Film : Montage Rusia – Sergei Eisenstein

Sebenarnya Eisenstein adalah salah seorang yang direkrut oleh Lev Kuleshov dalam rangka mengembangkan laboratorium filmnya. Ternyata Eisenstein memang menjadi salah satu ‘lawan’ kuatnya terutama dari teori-teori yang dikemukakan bersama Pudovkin. Secara tegas Eisenstein mengritik Pudovkin yang dianggapnya hanya berkutat pada cara untuk membuat penonton sadar dan ikut terbangun emosinya. Dikarenakan seharusnya penonton juga dibangun aspek intelektual / pemikirannya, sekali lagi bukan sekedar emosinya saja.

Dasar pemikiran Eisenstein sesuai dengan ideologi yang dianut oleh negaranya, yaitu Marxisme, terutama Dialektika Materialisme. Dari pemikiran tersebut muncullah Teori Konflik, dimana sebuah pemikiran (tesis) harus dibenturkan dengan pemikiran lain (antitesis) akan memunculkan pemikiran baru (sintesis).

Dasar pemikiran itu Eisenstein diberinya contoh dengan Huruf Hieroglif dalam bahasa Mesir Kuno, di mana bila satu gambar disandingkan dengan gambar lain, maka akan menghasilkan makna lain. Contoh lainnya adalah huruf kanji China di mana 1 tanda mewakili 1 kata atau 1 suku kata, sehingga misalnya bila disandingkan tanda A dengan tanda B akan berarti X, sedangkan bila tanda C disandingkan dengan tanda B akan berarti Z.

  • 門 = Pintu
  • 大 = Besar, kuat dll
  • 大門 = Pintu
  • 門大 = Para lelaki

Saat diterapkan di dalam film, menurut Eisenstein sebuah shot seharusnya tidak sekedar disambung dengan shot lain, namun harus dibenturkan / dikonflikkan (montage attraction) yang akan menghasilkan makna yang sama sekali baru. Teorinya ini dikenal dengan istilah Intelectual Montage dan dalam penggambarannya diperlihatkan bahwa :

Seperti yang digambarkan Pudovkin bila A + B = AB

Sedangkan pada pemikiran Eisenstein bila A + B = C

Contoh kongkritnya dapat dilihat pada adegan pembantaian rakyat oleh tentara Tsar dalam film Strike, di mana dengan sadar di-cross-cutting-nya adegan pembantaian rakyat dengan penjagalan sapi. Selain Intelectual Montage, Eisenstein juga mengembangkan teori-teori lainnya dalam rangka lebih memperkuat tesis-tesisnya yang akan digunakan dalam film, diantaranya adalah :

  1. Metric Montage : Teori ini merujuk bahwa kandung dramatik shot-shot yang disambung tidaklah penting karena tujuannya adalah kesan yang akan diterima oleh penonton. Selain itu teori ini juga bertujuan mendapatkan aspek emosi penonton.
  2. Rythmic Montage : Teori ini lebih melibatkan hampir seluruh aspek film secara menyeluruh karena selain pemotongan berdasarkan waktu, juga aspek komposisi visual, pengaturan mise en scene, screen direction bahkan suara juga sangat diperhatikan dalam pemotongannya, misalnya pada adegan Tangga Odessa dalam film Potemkin
  3. Tonal Montage : Teori ini lebih tidak sekedar menggunakan panjang-pendeknya shot dalam menampilkan emosi, namun juga kandungan emosi di dalam shot tersebut juga menjadi penting misalnya gambar bayi tidur akan memberi unsur emosi tentang relaksasi.
  4. Overtonal Montage : Teori ini merupakan penggabungan ketiga teori sebelumnya, di mana dampaknya pada penonton menjadi lebih abstrak dan rumit.

Bagian II Sejarah Editing Film : Montage Rusia – Vsevolod I. Pudovkin

Pada masa itu di Uni Sovyet sedang berkembang satu aliran seni yang disebut constructivism, dimana aliran ini mencoba mendudukan bahwa apa yang akan dilihat dan dirasakan oleh audiens haruslah dapat dibangun. Setelah mengadakan eksperimen dengan Kuleshov, Pudovkin mencoba mengambil dasar dari aliran tersebut. Menurutnya sebuah film seharusnya dapat melibatkan emosi penonton, artinya saat melihat film, penonton tidak berhenti hanya mendapatkan informasi belaka, namun juga aspek emosinya turut dibangun. Oleh karena itu ia memperlihatkan bahwa adegan-adegan dalam film sesungguhnya dapat dibangun untuk memberi penekanan pada aspek dramatiknya. Pudovkin mencontohkan seseorang yang terjun dari atap gedung dimana bila harus menggunakan proses yang sebenarnya, adegan itu mustahil dibuat. Pudovkin menawarkan suatu metode yang dapat melibatkan emosi penonton dan menurutnya pula emosi penonton itu sendiri harus dibangun (dikonstruksi).

Ketika memberikan contoh seseorang yang melompat dari gedung, pembuatan adegan ini bertujuan agar penonton dapat merasakan kengeriannya. Decoupage-nya adalah :

  1. ELS   Pulan di pinggir atap gedung
  2. CU    Kaki Pulan di gigir atap gedung
  3. ECU Wajah Pulan berkeringat
  4. ELS  Boneka pengganti Pulan dijatuhkan
  5. FS P ulan terkapar dan bersimbah darah di jalan

Menurut Pudovkin, setiap shot yang dibuat dapat diproduksi di manapun, yang terpenting adalah konstruksi gambar ketika diedit, sehingga penonton bukan hanya percaya namun juga merasakan suasana dan nuansanya. Oleh karena itu ia menyebut metodenya dengan istilah Constructive Editing.
Metode ini dianalogikan oleh Pudovkin seperti sebuah rumah, di mana :

  • Rumah adalah film
  • Atap, tembok, pondasi adalah sequence.
  • Pintu, jendela, tiang adalah scene.
  • Paku, kayu, semen, batu bata adalah shot-nya.

Selain Constructive Editing, Pudovkin juga memiliki beberapa metode editing yang digunakannya sebagai instrumen pembuat impresi (kesan). Pada dasarnya tetap digunakan untuk membangkitkan emosi dan pemahaman penonton yaitu :

1. Contrast
Pudovkin mencontohkan bila hendak menceritakan tentang kelaparan, metode contrast ini menjadi sangat efektif sebab adegan-adegan tokoh yang lapar harus dibandingkan secara tegas dengan adegan-adegan tokoh lain yang rakus. Penonton dengan mudah akan dapat merasakan permasalahnnya, namun metode dianggapnya sangat standar dan umum.

2. Paralelism
Metode ini sebenarnya sudah dipakai dalam metode contrast dan Griffith menggunakannya dalam paralel cutting dan cross cutting. Hanya saja Pudovkin melihat aspek yang lebih luas yang tidak sekedar memperbandingkan saja. Pudovkin mencontohkan dalam cerita tentang seorang pekerja yang akan dihukum mati pada jam lima sore karena memimpin penyerangan pabrik tempatnya bekerja. Dalam editing dapat saja dikonstruksi seperti :

  • A.1. Pemilik pabrik (majikan) keluar dari restauran dalam keadaan mabuk. Dia melihat ke arlojinya menunjukkan pukul 04.00.
  • B.1. Tertuduh sedang dipersiapkan untuk hukuman mati.
  • A.2. Sang Majikan menekan bel rumahnya dan saat itu waktu menunjukkan 04.30
  • B.2. Mobil yang mangangkut tertuduh meluncur di jalanan dengan beberapa penjaga di dalamnya.
  • A.3. Pembantunya (ibu dari tertuduh) membukakan pintu dan majikan tersebut langsung terkapar di lantai.
  • A.4. Sang Majikan mendengkur di tempat tidurnya dengan tangan yang hampir terjatuh ke lantai dan arlojinya terlihat menunjukkan waktu sebentar lagi pukul 05.00.
  • B.3. Sang pekerja yang menjadi tertuduh tersebut digantung.

Sepintas, adegan-adegan tersebut saling tidak berhubungan sebab antara majikan dan seorang pekerja tentunya memiliki keterikatan batin yang sangat jauh. Namun waktu yang ditunjukkan oleh arloji itu menjadi sebuah ikatan tema yang sangat dingin (kejam) untuk menyimpulkan akhir dari tragedi tersebut. Hal ini juga merupakan suguhan akan sebuah kesadaran kepada penontonnya.

3. Symbol
Pudovkin justru memberi contoh dalam film Strike karya Sergei Eisenstein, di mana pada bagian-bagian akhir film tersebut diperlihatkan shot-shot pembantian rakyat oleh tentara kerajaan yang langsung disambung dengan adegan seekor sapi yang sedang disembelih. Secara ruang, waktu dan peristiwa, shot sapi tersebut tidak memilki hubungan dengan adegan sebelumnya, namun shot tersebut memiliki keterikatan yang kuat secara simbolis dalam menggambarkan kebrutalan tentara.

Sebenarnya Pudovkin sendiri telah membuat simbolisasi dalam film Mother. Saat sang anak tahu akan dibebaskan oleh kawan-kawannya, shot sang anak dalam penjara di paralel dengan air sungai yang mengalir deras dan juga anak-anak yang sedang bergembira. Menurut Jean Mitry (teoritikus dan pembuat film), adegan disebutnya sebagai lyric editing sebab tidak seperti Strike yang hanya memperbandingkan dua adegan pembantaian, dalam adegan penjara ini Pudovkin justru berhasil memunculkan aspek perasaan tokoh dan jelas dengan sadar Pudovkin mengkonstruksinya.

4. Simultaneity
Waktu yang disajikan dalam film seolah-olah terjadi secara serempak atau bersamaan. Film-film Griffith menandai hal ini, seperti halnya pada paralel cutting yang diterapkan saat last minutes rescue. Bisa juga saat memberikan Intolerance pada bagian akhir adegan-adegannya dikonstruksi dengan pemotongan yang cepat untuk mempertahankan rasa penasaran dan emosi penonton. Penonton akan terus menunggu dan bertanya apa yang akan terjadi selanjutnya ?

5. Leit Motif
Pengulangan-pengulangan shot atau adegan yang berfungsi untuk mengingatkan penonton pada tema film yang disajikan, sekarang ini suara juga dapat difungsikan sebagai leit motif. Sebenarnya pada skenario hal ini berfungsi sebagai penekanan tema dasar kepada penontonnya. Misalnya sebuah film yang bertemakan religi, maka pada scene 1 diperlihatkan sebuah kubah masjid di tengah perkampungan. Scene 5, adegan orang-orang shalat berjamaah, lalu scene 10 memperlihatkan sebuah tasbih tergantung di spion dalam mobil dan seterusnya.

Bagian II Sejarah Editing Film : Montage Rusia – Lev Kuleshov

Setelah Revolusi Bolshevik (Revolusi Rakyat) kedua tahun 1917, Lenin sebagai pemimpin Uni Sovyet pada masa itu langsung menasionalisasi seluruh aspek vital di sana. Perusahaan listrik adalah yang pertama kali dinasionalisasi. Aspek vital kedua yang dinasionalisasi adalah perusahaan film. Hal ini sesuai dengan apa yang pernah dikatakannya, “The most important of arts is cinema, because we can use it for education and propaganda”. Lenin melihat bahwa film sangat efektif sebagai sarana pendidikan masyarakat dan propaganda ideologinya.

Permasalahannya kemudian, untuk membuktikan ucapannya Lenin harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit agar bisa membuat film. Yang pertama kali dilakukannya adalah mendirikan laboratorium film (laboratorium di sini adalah tempat penelitian dan bukan tempat prosesing film) dan juga pabrik aktor. Untuk mengelola laboratorium film tersebut dipanggillah seorang seniman pada masa itu bernama Lev Kuleshov. Namun Lenin tidak memiliki cukup uang untuk memproduksi film, sehingga uang yang ada hanya bisa dibelikan dua film dari D.W. Griffith yaitu The Birth Of A Nation dan Intolerance. Hal ini dikarenakan kedua film tersebut sangat fenomenal.

Kuleshov kemudian mengajak “murid”-nya bernama Vsevolod I. Pudovkin untuk meneliti kedua film tersebut. Awalnya mereka memutarnya berulang kali dan mereka merasa mampu untuk membuat film dengan adegan-adegan seperti itu. Sampai kemudian mereka merasa frustasi karena tidak dapat menemukan keistimewaan kedua film tersebut. Dalam kefrustrasian mereka, kedua film itu dipotong-potong per shot serta diteliti dengan menggunakan kaca pembesar dan akhirnya tidak ditemukan keistimewaan apapun. Namun keajaiban muncul ketika mereka menyambung kembali potongan tersebut, sebab mereka tidak menyadari bahwa penyambungan kembali itu dilakukan secara acak. Mereka memutar film itu kembali dan terkejut sekali ketika melihat hasilnya, dimana film itu ceritanya menjadi kacau-balau. Maka Kuleshov menyimpulkan bahwa yang menjadi kekuatan film The Birth of a Nation adalah jukstaposisi-nya. Jukstaposisi adalah jenjang urutan shot-shot di dalam film yang memiliki keterikatan satu dengan yang lain.

Untuk membuktikan asumsinya tentang jukstaposisi, Kuleshov mencoba membuat eksperimen. Dia mengambil sebuah shot tunggal dari perusahaan film yang telah ditinggal oleh pemiliknya

Aktor yang ada di dalam shot tersebut bernama Ivan Mozzhukhin dengan wajah tanpa ekspresi. Ada beberapa shot lagi yang digunakan oleh Kuleshov untuk eksperimennya yaitu shot semangkuk sup panas, shot peti mati dan shot anak-anak yang sedang bermain di taman. Selain keempat shot itu, dia juga mengumpulkan shot wajah seorang perempuan, shot telinga, shot mata, shot hidung dan shot bibir dari sumber yang sama sekali berbeda.

Pada eksperimen pertama, dia menyambung shot wajah Mozzhukhin dengan shot semangkuk sup panas. Eksperimen kedua, disambung shot wajah Mozzhukhin dengan shot peti mati dan yang terakhir, shot wajah Mozzhukhin dengan shot anak-anak yang sedang bermain. Eksperimen pertama mendapat tanggapan dari orang-orang yang menontonnya bahwa Mozzhukhin sedang lapar. Eksperimen kedua, penonton menganggap Mozzhukhin sedang bersedih. Sedangkan eksperimen ketiga penonton mengartikan bahwa Mozzhukhin sedang bergembira.

Di bawah ini adalah beberapa usaha untuk membuat seperti apa yang dilakukan oleh Kuleshov :

Selain itu Kuleshov juga mencoba menyambung secara berurutan kelima shot yang lain yaitu shot wajah seorang perempuan, shot telinga, shot mata, shot hidung dan shot bibir. Setelah dipertontonkan, banyak yang menganggap bahwa mata, telinga, bibir dan hidung itu adalah milik wanita tersebut.

Dari kedua macam eksperimennya ini Kuleshov akhirnya menyimpulkan bahwa sebuah shot tidak dapat berdiri sendiri, namun membutuhkan shot lain agar memiliki makna. Oleh karena itu jukstaposisi menjadi sangat penting. Juga karena hasil yang diperolehnya, maka Kuleshov juga mengatakan bahwa sinema merupakan salah satu bentuk seni. Untuk dapat memenuhi syarat sebagai seni maka dibutuhkan dua syarat, yaitu materi (shot) dan metode kreatif (montage / editing).
Akan tetapi, eksperimen Kuleshov di atas, kemudian dikritik oleh Pudovkin, di mana ia menyambung secara berurut shot orang tertawa, shot pistol ditodongkan dan terakhir shot orang ketakutan. Menurutnya makna yang akan ditangkap penonton adalah bahwa orang tersebut seorang pengecut atau penakut. Tetapi justru akan berbeda seratus delapan puluh derajat, ketika urutan shotnya dibalik, maka penonton akan menganggap orang tersebut gila. Akhirnya Pudovkin meyakinkan lebih lanjut bahwa editing bukan sekedar metode kreatif namun merupakan pondasi dari seni film (the foundation of film art is editing).

Sesungguhnya apa yang tertulis di atas tidak pernah ada bukti otentiknya. Hampir seluruh informasi tentang eksperimen-eksperimen tersebut disampaikan dari mulut ke mulut atau para penulis buku yang mengutip dari penulis sebelum mereka. Namun paling tidak kita dapat melihat bahwa kegigihan sekelompok orang dalam mengatasi pengetahuan yang ingin mereka capai.

Bagian II Sejarah Editing Film : David Wark Griffith (Classical Editing)

Jangan pernah percaya pada ucapan buku-buku yang menyebutkan David Wark Griffith sebagai ‘bapak’ dari berbagai macam penemuan di dalam sinema. Sebenarnya dia hanya meneruskan dan menyempurnakan pembahasaan di dalam sinema itu sendiri. Tetapi sejujurnya, memang banyak yang telah dilakukan oleh Griffith dalam membangun bahasa sinematiknya sendiri. Terutama ketika titik tolak sinema disebut klasik berawal dari masa dimana dia berada. Istilah klasik digunakan karena apa yang dilakukan Griffith masih digunakan hingga sekarang.

Louis Giannetti mengatakan bahwa dalam era Classicism, Griffith sudah menggunakan Classical Cutting yaitu usaha menggunakan editing bukan hanya sebagai perangkat fisik untuk menyambung antar sequence seperti pada film-film Melies dan Edwin Porter, namun digunakan untuk intensitas dramatik dan penekanan emosional. Tentu saja hal itu tidak dilakukannya sendiri sebab dia justru mengembangkan dari apa yang sudah ada sebelumnya.

Misalnya saja, untuk membuat sebuah film panjang kolosal dia dipengaruhi oleh kesempurnaan yang dihadirkan oleh Giovanni Pastrone saat membuat Cabiria (1914). Namun apa yang dilakukan Griffith menjadi sangat progresif. Awalnya Grifftih melakukan sistematisasi shot, di mana dia tidak sekedar menyambung beberapa tipe shot yang berbeda namun mengaturnya sedemikian rupa dengan perlakuan dan ekspresi yang kompleks. Artinya decoupage yang telah dibuat, disusun sedemikian rupa sehingga penonton dapat memahami apa yang diinginkan pembuatnya. Hal ini seperti yang pernah dikatakan Griffith “The task I am trying to achieve is above all to make you see.” Apa yang diinginkan oleh classical cutting adalah mencoba membuat penonton memahami adegan yang disajikan sehingga secara normatif urtuannya adalah :

  1. Extreme Longs Shot (ELS / XLS)
  2. Long Shot (LS)
  3. Full Shot (FS)
  4. Medium Shot (MS)
  5. Medium Close Up (MCU)
  6. Close Up (CU)
  7. Big Close Up (BCU)
  8. Extreme Close Up (ECU / XCU)

Urutan ini juga bisa dibuat terbalik dan bila terjadi interupsi, maka shot selanjutnya harus kembali pada shot sebelum diinterupsi atau melanjutkan tipe shot sebelum diinterupsi. Contohnya :

  1. LS Rumah tokoh.
  2. FS Tokoh sedang menyiram kembang dan istrinya datang membawakan minum dengan cangkir dan sebuah teko.
  3. MS Sang istri menyerahkan cangkir.
  4. CU Tangan memegang cangkir.
  5. MS Sang istri menuangkan air teh dari teko.
  6. MCU Tokoh meneguk tehnya
  7. CU Tokoh merasa segar

Namun bisa juga dibuat dengan cara :

  1. LS Rumah tokoh.
  2. FS Tokoh sedang menyiram kembang dan istrinya datang membawakan minum dengan cangkir dan sebuah teko.
  3. MS Sang istri menyerahkan cangkir.
  4. CU Tangan tokoh memegang cangkir dan tangan istri menuangkan air teh di teko.
  5. MCU Tokoh meneguk air teh dari cangkir.
  6. CU Tokoh merasakan kesegaran setelah meminum tehnya.

Namun Griffith sendiri tidak secara kaku menerapkan urutan seperti di atas, sebab sekali lagi dia menyusunnya lebih kompleks dan kreatif. Misalnya saat ingin menjelaskan sebuah adegan keluarga Cameron pada scene ketiga dalam film Teh Birth of a Nation, dia mengurutkannya adalah sbb:

  1. LS Depan rumah keluarga Cameron.
  2. LS Bonnie Cameron di pekarangan dekat rumahnya.
  3. LS Depan rumah keluarga Cameron di mana ada dua anak jatuh dari kereta kuda.
  4. LS Bonnie Cameron keluar dari pekarangan.
  5. LS Bonnie Cameron menuju depan rumahnya hingga bertemu dengan seorang gadis di kereta kuda.
  6. MS Bonnie Cameron berbincang dengan gadis di kereta kuda
  7. LS Interior rumah keluarga Cameron. Margareth sedang menuju ke lantai dua.
  8. MS Bonnie Cameron berbincang dengan gadis di kereta kuda.
  9. LS Bonnie Cameron selesai berbincang dengan gadis di kereta kuda lalu menuju teras rumahnya.
  10. FS Keluarga Cameron sedang bercengkerama di teras.
  11. MS Bonnie Cameron berbincang dengan ayahnya Camera Tilt Down dua anak anjing yang sedang bermain dekat kaki Bonnie.
  12. MS Bonnie Cameron bercanda dengan adiknya yang paling kecil.

Decoupage yang dilakukan Griffith ini tidak hanya berhasil mendapatkan detail yang lebih banyak, namun juga menguasai reaksi penonton yang jauh lebih besar. Secara sengaja dia memaksa penonton untuk melihat apa saja yang harus mereka lihat. Kesatuan ruang dan waktu pada adegan sebenarnya berubah secara radikal. Hal tersebut digantikan dengan kontinuitas subjektif keterkaitan ide terkandung dalam shot shot yang terhubung.

Sekali lagi, apa yang dilakukan Griffith ini sesungguhnya adalah mencoba membuat cutting itu memiliki intensitas dramatik dan penekanan emosional, sehingga setidaknya dia dapat mengembangkan dramatisasi tersebut menjadi tiga bagian yaitu :

  • Dramatic Content (kandungan dramatik) :  Sebelum menyambung, setiap shot harus memiliki kandungan dramatik yang kuat agar dapat memperkuat keterhubungannya.
  • Dramatic Context (hubungan dramatik) : Hubungan dramatik yang dimaksud merujuk pada setidaknya dua shot yang akan disambung apakah hubungan tersebut memiliki nilai informasi atau estetik.
  • Dramatic Impact (dampak dramatik)

Apa akibat yang akan diterima penonton saat menyaksikan penyambungan-penyambungan tersebut?  Dengan menggunakan ketiga hal ini maka Griffith dapat leluasa melakukan editing secara progresif dan kompleks sehingga ada beberapa metode atau gaya editing muncul dari kaidah-kaidah di atas.  Dari apa yang sudah dilakukan oleh Griffith pada The Birth of a Nation sudah dilakukannya intercut ‘yang sempurna’, yaitu penyambungan berselang-seling sebuah adegan dalam satu ruang atau lebih namun harus dalam satu waktu. Bila adegan tersebut berada dalam ruang yang berbeda, maka harus memiliki garis aksi yang sama.

Selain itu Griffith juga sudah membuktikan akan efisiennya Paralel Editing, yaitu penyambungan berselang-seling dua adegan atau lebih yang diasumsikan terjadi dalam waktu yang sama namun tidak memiliki garis aksi yang sama. Contohnya, ketika adegan penyerangan keluarga Cameron, penahanan Elsie Stoneman oleh Silas Lynch dan kedatangan Ku Klux Klan disambung berselang-seling secara bergantian dan menunjukkan waktu yang terjadi secara bersamaan.
Selain itu Griffith juga sudah melakukan sebuah terobosan dengan membuat Cross Cutting saat memperlihatkan adegan Margaret Cameron mengingat kedua saudara laki-lakinya, Griffith menyambungnya dengan shot-shot saat mereka menemui ajal. Secara sederhana Cross Cutting dipahami sebagai penyambungan berselang-seling dua adegan atau lebih terjadi dalam ruang dan waktu yang berlainan, namun memiliki keterhubungan tema atau kesatuan tema.

Namun yang menarik adalah ketika Griffith juga membuat suatu sequence penyelamatan keluarga Cameron dari keganasan pasukan kulit hitam, di mana dia menggunakan paralel editing pada awalnya dan menjadi intercut di bagian akhirnya ketika Ku Klux Klan dapat menghabisi pasukan utara dan membebaskan keluarga tersebut. Metode ini disebut Last Minutes Rescue. Pada masa sekarang, metode ini banyak digunakan film-film laga terutama saat-saat sequence terakhir.

Eksperimen editing Griffith yang radikal adalah film Intolerance (1916) yang merupakan film fiksi pertama yang berhasil mengeksplorasi ide thematic montage. Baik film dan tekniknya memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap sutradara film pada tahun 1920 an, terutama di Uni Soviet. Thematic montage ini lebih menekankan asosiasi ide serta mengabaikan kontinuitas waktu dan ruang.

Film tersebut menyatukan tema tentang kekejaman manusia terhadap manusia lain dan bukan hanya satu cerita yang diceritakan, namun empat cerita berbeda.

  1. Cerita Zaman Modern (1914) : Cerita tentang awal abad ke-20 di Amerika Serikat saat terjadi pemogokan dan kerusuhan buruh serta perubahan sosial di California. Sequence ini juga menceritakan konflik buruh dan majikan.
  2. Cerita Masa Penyaliban Yesus
  3. Cerita Masa Renaissance Di Perancis : Penganiayaan dan pembantaian kaum Huguenot oleh bangsawan Katolik pada abad ke – 16.
  4. Cerita Masa Babilonia (539 S.M)

Perdamaian Pangeran Belshazzar dari Babilonia pada zaman-nya dan pengepungan oleh Raja Cyrus dari Persia.
Keempat cerita terjalin secara paralel dan Griffith hanya menghubungkan keempat cerita tersebut menggunakan sebuah insert shot bayi dalam buaian yang sedang ditidurkan oleh ibunya. Pada akhir film, Griffith menggambarkan pengajaran yang penuh ketegangan pada cerita pertama dan keempat. Pembantaian yang kejam pada cerita Huguenot serta klimaks yang lambat pada pembunuhan Jesus.

Film ini terdiri dari ratusan shot dan shot-shot yang terpisah oleh ribuan tahun dan ribuan kilometer jaraknya, disejajarkan secara rapi. Perbedaan waktu dan ruang ini disatukan denga satu tema sentral yaitu intoleransi. Kontinuitas bagi Griffith tidak lagi bersifat fisik maupun psikologis, namun tematis. Secara komersial film ini tidak sukses atau bahkan lebih layak disebut gagal total. Akan tetapi pengaruhnya besar sekali bagi pembuat film di kemudian hari. Contohnya adalah para pembuat film Rusia yang begitu terpesonanya terhadap dua film Griffith tersebut, juga dengan kemampuannya dalam menjalankan metode-metodenya.

Bagian II Sejarah Editing Film : Brighton School (Cinematic Language)

Ketika kelahiran sinema dianggap milik Perancis, maka Inggris punya cara sendiri dalam mengekspresikan karyanya. Sampai tahun 1970-an nama Brighton School tidak dikenal oleh perfilman dunia. Padahal dimulai dari merekalah, kita menggunakan bahasa dan metode sinematik di dalam film, dari decoupage, traveling dramatic, screen direction dan lain sebagainya. Sehingga dalam peta sejarah editing yang dibuat oleh Louis Giannetti, ‘gerakan’ ini tidak muncul, selain ada unsur lain yaitu ingin dipertahankannya hegemoni Amerika Serikat sebagai ‘penguasa’ sejarah film dunia.

School dari kata di atas berarti kumpulan, mereka adalah gabungan para fotografer yang kemudian mencoba untuk bereksperimen dengan alat baru penemuan Friese Green yang disebut dengan chronophotographic yang dapat merekam 10 gambar per detiknya (frame per second) yang kemudian dijualnya kepada Thomas Alva Edison. Selain Friese Green, hampir semua orang dalam kumpulan ini membuat dan mengembangkan kameranya sendiri, di antaranya adalah Birt Acres, Robert William Paul, George Albert Smith, James Williamson dan Cecil Hepworth. Dalam makalah ini yang akan dibahas hanyalah yang disebut di atas yang mewakili para pembuat film Inggris pada masa itu yang mempelopori penggunaan bahasa sinematik.

Setidaknya mereka menggunakan tiga bahasa sinematik yang sama, yaitu decoupage, intercut dan traveling dramatic. Pertama, decoupage adalah cara dalam membagi sebuah adegan menjadi satu atau banyak shot. Kedua, intercut yaitu penyambungan secara berselang-seling sebuah peristiwa yang terjadi dalam satu ruang dan satu waktu. Contoh decoupage dan intercut dapat dilihat dalam film George Albert Smith, “Grandma’s Reading Glasses” dan “Mary Jane Mishap” ataupun dalam film James Williamson, “Fire”.

Selain itu mereka juga telah berhasil mendramatisasi adegan di jalanan atau dikenal dengan traveling dramatic, seperti yang dilakukan oleh Robert Paul dalam Mad Motorist ! (1906), James Williamson dalam sebuah film komedi Stop Thief ! (1901) ataupun juga Rescued By Rover (1905) karya Cecil Hepworth . Maksudnya di sini mereka tidak hanya sekedar merekam seperti yang dilakukan oleh Lumiere, namun sudah memberi sentuhan dramatik pada peristiwa yang dibuat. Selain itu dalam film-film tersebut, mereka juga sudah membuat apa yang disebut dengan chasing scene (adegan pengejaran).

A. BIRT ACRES & ROBERT WILLIAM PAUL

Selain sebagai penemu alat perekam (kinetoscope parlour) Robert W. Paul juga membuat beberapa film yang secara bentuk dan gaya tidak jauh berbeda dengan apa yang di lakukan oleh Melies dan Porter. Dia meletakkan kamera di depan sebuah panggung dan latar belakang dari rumah digunakan Back Screen Projector seperti yang dilakukan oleh Porter saat membuat The Great Train Robbery.

Sedangkan Birt Acres yang juga bersama Robert Paul membuat film yang tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Lumiere dan para pegawai Edison. Dia hanya merekam suatu peristiwa di sebuah pinggiran laut. Film yang dibuatnya diberi judul Rough Sea at Dover (1895) dan Yarmouth Fishing Boats Leaving Harbour (1896).

Sedangkan Robert Paul sendiri membuat beberapa film yang sudah memasukan aspek naratif (penceritaan) seperti yang dilakukan oleh Melies, namun walaupun dia lebih berbeda karena sudah menggunakan setting ruang eksterior, tetapi Paul sendiri kurang imajinatif dan lebih kasar dalam menggunakan kemampuan kamera. Artinya dia tidak sehalus dan selihai Melies.

B. GEORGE ALBERT SMITH

Dalam film-filmnya, G.A. Smith tidak hanya menggunakan decoupage saja namun sudah menggunakan type of shot sudah lebih efektif dibandingkan film-film Acres dan Paul. Misalnya dalam Grandma’s Reading Glass (1900) atau Mary Jane Mishape (1903), dia tidak hanya menggunakan long shot saja namun juga sudah menggunakan medium shot, close up atau bahkan extreme close up.

Misalnya urutan yang dapat kita lihat dari film Grandma’s Reading Glass yaitu :

  1. CU Koran
  2. LS Anak yang sedang memegang kaca pembesar dan Nenek yang sedang merajut. Si anak kemudian mengambil arloji dan mendekatkan kaca pembesar tersebut.
  3. CU Mesin Arloji
  4. LS Anak meletakkan kaca pembesar, lalu menunjuk ke arah burung dalam sangkar. Kemudian mengambil kaca pembesar lagi dan mendekatkan ke sangkar.
  5. CU Burung dalam sangkar.
  6. LS Anak meletakkan kaca pembesar, lalu menunjuk ke mata nenek. Kemudian mengambil kaca pembesar lagi dan mendekatkan ke mata nenek.
  7. ECU Mata kiri nenek.
  8. LS Anak masih memegang kaca pembesar, lalu nenek menggendong dan menyelimutinya kucingnya. Kemudian anak mendekatkan kaca pembesar ke kucing.
  9. CU Kucing yang diselimuti.
  10. LS Anak masih memegang kaca pembesar dan nenek berusaha berbicara dengan si anak.

Dari film ini saja, setidaknya Smith telah menggunakan beberapa teknik lagi, misalnya teknik masking, yaitu teknik untuk memfokuskan (membuat center point of interest) suatu elemen visual atau mise en scene. Hal tersebut dilakukan karena pada masa itu belum ada lensa makro yang mampu menangkap mise en scene dengan sangat dekat.

Selain teknik masking di atas, Smith juga sudah menggunakan sebuah eyeline match dalam bentuk point of view cutting. Eyeline match adalah suatu garis imajinatif yang menghubungkan mata tokoh A dengan tokoh B dalam yang saling berhadapan yang berwujud dalam beberapa shot. Misalkan shot tokoh A melihat ke atas, maka sambungannya adalah shot tokoh B yang melihat ke arah bawah. Sedangkan point of view cutting adalah saat shot tokoh A melihat suatu benda, maka benda tersebut diperlihatkan. Kita dapat membuktikannya pada film di atas yaitu shot 2 dengan shot 3, shot 4 dengan shot 5, shot 6 dengan shot 7 serta shot 8 dengan shot 9.

Teknik lain yang banyak digunakan oleh Smith adalah superimposed. Teknik ini seperti teknik double expose dalam bidang fotografi. Kita bisa melihatnya pada film Mary Jane Mishape saat rohnya keluar dari kuburan ataupun saat dia membuat orang kembar di film The Corsican Brothers (1898).

C. JAMES WILLIAMSON

Sejujurnya saya tidak dapat menunjukkan data yang shahih apa yang tertulis di beberapa buku yang menyatakan bahwa James Williamson sudah menerapkan teknik montage yang sangat sederhana dalam film Boat Race In Hanley (1899) di mana dia membuat delapan sampai sembilan shot yang di antaranya adalah :

  1. Penonton yang sedang berkumpul
  2. Perahu memulai balapan (kamera dari perahu)
  3. Beberapa perahu yang sedang balapan
  4. Penonton bersorak-sorai (kamera dari perahu yang melaju)
  5. Perahu yang menang memasuki finish.

Shot-shot itu kemudian disambung secara berurutan (di-montage) walaupun masih sangat sederhana. Ada beberapa ahli yang kemudian menyebutnya dengan istilah film montage.
Selain itu Williamson juga telah menggunakan teknik paralel editing dalam film Attack On A China Mission (1900). Disebutkan bahwa dia sudah meng-intercut dua adegan yaitu di dalam rumah (interior), saat penghuni rumah yang sedang disergap dan diperlihatkan bergantian dengan adegan di luar rumah (eksterior) saat para penolong datang. Sayangnya dalam film yang dikompilasi oleh British Film Institut, adegan di dalam rumah tidak ada.


D. CECIL HEPWORTH

Film-film Cecil Hepworth sebenarnya tidak jauh berbeda dengan para pembuat film lainnya. Namun dia memiliki satu keistimewaan ketika membuat Rescued By Rover (1905), yaitu telah digunakannya screen direction yaitu sebuah metode dimana ketika shot pertama subyek bergerak dari kanan ke kiri, maka shot-shot selanjutnya harus bergerak ke arah yang sama sehingga kesinambungan geraknya dapat terjaga