Bagian II Sejarah Editing Film : David Wark Griffith (Classical Editing)

Jangan pernah percaya pada ucapan buku-buku yang menyebutkan David Wark Griffith sebagai ‘bapak’ dari berbagai macam penemuan di dalam sinema. Sebenarnya dia hanya meneruskan dan menyempurnakan pembahasaan di dalam sinema itu sendiri. Tetapi sejujurnya, memang banyak yang telah dilakukan oleh Griffith dalam membangun bahasa sinematiknya sendiri. Terutama ketika titik tolak sinema disebut klasik berawal dari masa dimana dia berada. Istilah klasik digunakan karena apa yang dilakukan Griffith masih digunakan hingga sekarang.

Louis Giannetti mengatakan bahwa dalam era Classicism, Griffith sudah menggunakan Classical Cutting yaitu usaha menggunakan editing bukan hanya sebagai perangkat fisik untuk menyambung antar sequence seperti pada film-film Melies dan Edwin Porter, namun digunakan untuk intensitas dramatik dan penekanan emosional. Tentu saja hal itu tidak dilakukannya sendiri sebab dia justru mengembangkan dari apa yang sudah ada sebelumnya.

Misalnya saja, untuk membuat sebuah film panjang kolosal dia dipengaruhi oleh kesempurnaan yang dihadirkan oleh Giovanni Pastrone saat membuat Cabiria (1914). Namun apa yang dilakukan Griffith menjadi sangat progresif. Awalnya Grifftih melakukan sistematisasi shot, di mana dia tidak sekedar menyambung beberapa tipe shot yang berbeda namun mengaturnya sedemikian rupa dengan perlakuan dan ekspresi yang kompleks. Artinya decoupage yang telah dibuat, disusun sedemikian rupa sehingga penonton dapat memahami apa yang diinginkan pembuatnya. Hal ini seperti yang pernah dikatakan Griffith “The task I am trying to achieve is above all to make you see.” Apa yang diinginkan oleh classical cutting adalah mencoba membuat penonton memahami adegan yang disajikan sehingga secara normatif urtuannya adalah :

  1. Extreme Longs Shot (ELS / XLS)
  2. Long Shot (LS)
  3. Full Shot (FS)
  4. Medium Shot (MS)
  5. Medium Close Up (MCU)
  6. Close Up (CU)
  7. Big Close Up (BCU)
  8. Extreme Close Up (ECU / XCU)

Urutan ini juga bisa dibuat terbalik dan bila terjadi interupsi, maka shot selanjutnya harus kembali pada shot sebelum diinterupsi atau melanjutkan tipe shot sebelum diinterupsi. Contohnya :

  1. LS Rumah tokoh.
  2. FS Tokoh sedang menyiram kembang dan istrinya datang membawakan minum dengan cangkir dan sebuah teko.
  3. MS Sang istri menyerahkan cangkir.
  4. CU Tangan memegang cangkir.
  5. MS Sang istri menuangkan air teh dari teko.
  6. MCU Tokoh meneguk tehnya
  7. CU Tokoh merasa segar

Namun bisa juga dibuat dengan cara :

  1. LS Rumah tokoh.
  2. FS Tokoh sedang menyiram kembang dan istrinya datang membawakan minum dengan cangkir dan sebuah teko.
  3. MS Sang istri menyerahkan cangkir.
  4. CU Tangan tokoh memegang cangkir dan tangan istri menuangkan air teh di teko.
  5. MCU Tokoh meneguk air teh dari cangkir.
  6. CU Tokoh merasakan kesegaran setelah meminum tehnya.

Namun Griffith sendiri tidak secara kaku menerapkan urutan seperti di atas, sebab sekali lagi dia menyusunnya lebih kompleks dan kreatif. Misalnya saat ingin menjelaskan sebuah adegan keluarga Cameron pada scene ketiga dalam film Teh Birth of a Nation, dia mengurutkannya adalah sbb:

  1. LS Depan rumah keluarga Cameron.
  2. LS Bonnie Cameron di pekarangan dekat rumahnya.
  3. LS Depan rumah keluarga Cameron di mana ada dua anak jatuh dari kereta kuda.
  4. LS Bonnie Cameron keluar dari pekarangan.
  5. LS Bonnie Cameron menuju depan rumahnya hingga bertemu dengan seorang gadis di kereta kuda.
  6. MS Bonnie Cameron berbincang dengan gadis di kereta kuda
  7. LS Interior rumah keluarga Cameron. Margareth sedang menuju ke lantai dua.
  8. MS Bonnie Cameron berbincang dengan gadis di kereta kuda.
  9. LS Bonnie Cameron selesai berbincang dengan gadis di kereta kuda lalu menuju teras rumahnya.
  10. FS Keluarga Cameron sedang bercengkerama di teras.
  11. MS Bonnie Cameron berbincang dengan ayahnya Camera Tilt Down dua anak anjing yang sedang bermain dekat kaki Bonnie.
  12. MS Bonnie Cameron bercanda dengan adiknya yang paling kecil.

Decoupage yang dilakukan Griffith ini tidak hanya berhasil mendapatkan detail yang lebih banyak, namun juga menguasai reaksi penonton yang jauh lebih besar. Secara sengaja dia memaksa penonton untuk melihat apa saja yang harus mereka lihat. Kesatuan ruang dan waktu pada adegan sebenarnya berubah secara radikal. Hal tersebut digantikan dengan kontinuitas subjektif keterkaitan ide terkandung dalam shot shot yang terhubung.

Sekali lagi, apa yang dilakukan Griffith ini sesungguhnya adalah mencoba membuat cutting itu memiliki intensitas dramatik dan penekanan emosional, sehingga setidaknya dia dapat mengembangkan dramatisasi tersebut menjadi tiga bagian yaitu :

  • Dramatic Content (kandungan dramatik) :  Sebelum menyambung, setiap shot harus memiliki kandungan dramatik yang kuat agar dapat memperkuat keterhubungannya.
  • Dramatic Context (hubungan dramatik) : Hubungan dramatik yang dimaksud merujuk pada setidaknya dua shot yang akan disambung apakah hubungan tersebut memiliki nilai informasi atau estetik.
  • Dramatic Impact (dampak dramatik)

Apa akibat yang akan diterima penonton saat menyaksikan penyambungan-penyambungan tersebut?  Dengan menggunakan ketiga hal ini maka Griffith dapat leluasa melakukan editing secara progresif dan kompleks sehingga ada beberapa metode atau gaya editing muncul dari kaidah-kaidah di atas.  Dari apa yang sudah dilakukan oleh Griffith pada The Birth of a Nation sudah dilakukannya intercut ‘yang sempurna’, yaitu penyambungan berselang-seling sebuah adegan dalam satu ruang atau lebih namun harus dalam satu waktu. Bila adegan tersebut berada dalam ruang yang berbeda, maka harus memiliki garis aksi yang sama.

Selain itu Griffith juga sudah membuktikan akan efisiennya Paralel Editing, yaitu penyambungan berselang-seling dua adegan atau lebih yang diasumsikan terjadi dalam waktu yang sama namun tidak memiliki garis aksi yang sama. Contohnya, ketika adegan penyerangan keluarga Cameron, penahanan Elsie Stoneman oleh Silas Lynch dan kedatangan Ku Klux Klan disambung berselang-seling secara bergantian dan menunjukkan waktu yang terjadi secara bersamaan.
Selain itu Griffith juga sudah melakukan sebuah terobosan dengan membuat Cross Cutting saat memperlihatkan adegan Margaret Cameron mengingat kedua saudara laki-lakinya, Griffith menyambungnya dengan shot-shot saat mereka menemui ajal. Secara sederhana Cross Cutting dipahami sebagai penyambungan berselang-seling dua adegan atau lebih terjadi dalam ruang dan waktu yang berlainan, namun memiliki keterhubungan tema atau kesatuan tema.

Namun yang menarik adalah ketika Griffith juga membuat suatu sequence penyelamatan keluarga Cameron dari keganasan pasukan kulit hitam, di mana dia menggunakan paralel editing pada awalnya dan menjadi intercut di bagian akhirnya ketika Ku Klux Klan dapat menghabisi pasukan utara dan membebaskan keluarga tersebut. Metode ini disebut Last Minutes Rescue. Pada masa sekarang, metode ini banyak digunakan film-film laga terutama saat-saat sequence terakhir.

Eksperimen editing Griffith yang radikal adalah film Intolerance (1916) yang merupakan film fiksi pertama yang berhasil mengeksplorasi ide thematic montage. Baik film dan tekniknya memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap sutradara film pada tahun 1920 an, terutama di Uni Soviet. Thematic montage ini lebih menekankan asosiasi ide serta mengabaikan kontinuitas waktu dan ruang.

Film tersebut menyatukan tema tentang kekejaman manusia terhadap manusia lain dan bukan hanya satu cerita yang diceritakan, namun empat cerita berbeda.

  1. Cerita Zaman Modern (1914) : Cerita tentang awal abad ke-20 di Amerika Serikat saat terjadi pemogokan dan kerusuhan buruh serta perubahan sosial di California. Sequence ini juga menceritakan konflik buruh dan majikan.
  2. Cerita Masa Penyaliban Yesus
  3. Cerita Masa Renaissance Di Perancis : Penganiayaan dan pembantaian kaum Huguenot oleh bangsawan Katolik pada abad ke – 16.
  4. Cerita Masa Babilonia (539 S.M)

Perdamaian Pangeran Belshazzar dari Babilonia pada zaman-nya dan pengepungan oleh Raja Cyrus dari Persia.
Keempat cerita terjalin secara paralel dan Griffith hanya menghubungkan keempat cerita tersebut menggunakan sebuah insert shot bayi dalam buaian yang sedang ditidurkan oleh ibunya. Pada akhir film, Griffith menggambarkan pengajaran yang penuh ketegangan pada cerita pertama dan keempat. Pembantaian yang kejam pada cerita Huguenot serta klimaks yang lambat pada pembunuhan Jesus.

Film ini terdiri dari ratusan shot dan shot-shot yang terpisah oleh ribuan tahun dan ribuan kilometer jaraknya, disejajarkan secara rapi. Perbedaan waktu dan ruang ini disatukan denga satu tema sentral yaitu intoleransi. Kontinuitas bagi Griffith tidak lagi bersifat fisik maupun psikologis, namun tematis. Secara komersial film ini tidak sukses atau bahkan lebih layak disebut gagal total. Akan tetapi pengaruhnya besar sekali bagi pembuat film di kemudian hari. Contohnya adalah para pembuat film Rusia yang begitu terpesonanya terhadap dua film Griffith tersebut, juga dengan kemampuannya dalam menjalankan metode-metodenya.

Published by Kusen Dony Hermansyah

amateur filmmaker, amateur photographer and part-time poet

Leave a comment