Bagian II Sejarah Editing : Melies dan Edwin Porter – Kesinambungan Naratif

A. MELIES

Ketika Melies dikenal sebagai sineas, dia sebenarnya adalah seorang ‘jagoan’ panggung’ artinya dia merupakan seorang dramawan sekaligus pesulap. Dalam pertunjukan Lumiere bersaudara di Café de Paris, dia menjadi salah seorang penontonnya dan sepulang dari menonton itulah dia ingin sekali memiliki kamera tersebut, namun ditolak oleh pihak Lumiere. Lalu dia memutuskan untuk membeli teknologi kamera yang dikembangkan oleh salah satu pionir dalam Brighton School yaitu Robert W. Paul. Setelah memiliki kamera tersebut, Melies mencobanya di jalanan. Waktu itu dia mencoba alat tersebut dengan merekam jalanan tersebut dan saat ada bis yang berhenti di depannya, kamera tersebut macet, sehingga ia mencoba membetulkannya. Dia meneruskan untuk merekam lagi saat ada mobil jenazah yang sedang berhenti di depannya. Ketika diputar di proyektor, dia sangat terkejut karena bis yang ada di filmnya tiba-tiba saja berubah menjadi kereta jenazah. Akhirnya Melies memahami bahwa kamera bisa digunakan sebagai trik sulap tanpa harus melakukan adegan ilusi sebenarnya di panggung. Tujuan utama Melies menggunakan alat perekam ini adalah aspek ekonominya. Tanpa harus memboyong banyak orang dalam pertunjukannya, dia dapat melakukan pertunjukan keliling dengan hanya bermodalkan film-film yang dia buat.

Permasalahan dari Melies dengan peralatan ini adalah durasi bahan baku yang kurang dari lima belas menit. Tentu saja dia harus menyesuaikan pembabakan ceritanya dengan durasi tersebut. Selain itu, cara Melies merekam adegan-adegannya adalah hanya membiarkan kamera menyala dan merekam adegan yang ada di panggung. Film-film yang dibuat masa itu adalah The Grasshopper And The Ant (1897) dan sebuah adaptasi sastra dengan judul Pygmalion dan The Damnation of Faust, keduanya diproduksi tahun 1898.

Namun saat mulai membuat film Cinderella (1899), mulai dipikirkan untuk menyambung sequence-sequence yang dibuatnya. Apalagi saat membuat A Trip To The Moon (1902), Melies lebih serius lagi menggarapnya dan sudah menggunakan teknik editing untuk menjaga kesinambungan cerita dari filmnya. Namun karena yang dibuatnya lebih menyesuaikan dengan durasi bahan bakunya, sehingga sekali shoot, ia mengambil satu sequence utuh dengan tipe shot Long Shot saja.

B. EDWIN STANTON PORTER

Saat Thomas A. Edison dan William K. Laurie Dickson berkuasa atas kinetoscope, maka mereka Cuma bisa memproduksi film-film yang berdurasi pendek karena hanya cukup untuk memenuhi durasi dari Penny Arcade. Selain itu film-film yang mereka produksi juga tidak memiliki cerita Namun mereka membutuhkan tenaga dari seorang Edwin Stanton Porter untuk bisa membuat film dengan durasi yang lebih panjang.

Porter saat itu mencoba membuat sebuah film dengan menggabungkan shot-shot yang sudah ada (stock shot) yang ditambah dengan shot-shot yang diproduksi untuk melengkapi kebutuhan film yang sedang diproduksi (footage). Kala itu Porter mencoba membuat film “The Life Of An American Fireman” (1903) yang di dalamnya sudah menggunakan plot, action, dand bahkan sebuah close up tangan yang menarik tuas alarm kebakaran.

Footage dari adegan yang dibuat oleh Porter, terutama ketika pada interior ruang tidur, sang ibu dan anak diselamatkan oleh petugas pemadam kebakaran. Ken Dencyger dalam bukunya Technique of Film And Video Editing menuliskan bahwa ada dua versi film ini. Pertama adalah tahun 1944 – 1985 dimana pada adegan penyelamatan ibu dan anak, Porter menjadi sangat brilian karena sudah menggunakan paralel cutting. Kedua, versi awal dimana justru tidak pernah ada paralel cutting tersebut dan dicurigai bahwa ini adalah versi awal yang dibuat Porter. Kecurigaan itu menjadi berdasar ketika melihat film selanjutnya The Great Train Robbery, dimana selain juga banyak menggunakan long shot, apa yang dibuat oleh Porter tidak jauh berbeda dengan yang sudah dilakukan oleh Melies yaitu editing hanya digunakan sebagai penyambung atau meneruskan sequence saja.

Published by Kusen Dony Hermansyah

amateur filmmaker, amateur photographer and part-time poet

Leave a comment